Pengertian
Wawasan Nusantara
Wawasan nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai
diri dan bentuk geografinya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam
pelaksanannya, wawasan nusantara mengutamakan kesatuan wilayah dan
menghargai kebhinekaan untuk mencapai tujuan nasional.
Menurut ketetapan MPR tahun 1993 dan 1998 tentang
GBHN, wawasan nusantara merupakan wawasan nasional yang bersumber pada
Pancasila dan berdasarkan UUD 1945 yang berarti cara pandang dan sikap Bangsa
Indonesia mengenai diri dan lingkungannya dengan mengutamakan persatuan dan
kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional.
a.
Landasan Wawasan Nusantara, wawasan
nusantara memiliki dua landasan, yaitu landasan Idiil berupa Pancasila dan landasan
konstitusional berupa konstitusional.
b. Unsur Dasar Wawasan Nusantara, wawasan nusantara memiliki unsur dasar diantaranya :
1. Wadah (Contour)
Wadah
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara meliputi seluruh wilayah
Indonesia yang memiliki sifat serba nusantara dengan kekayaan alam danpenduduk
serta aneka ragam budaya. Bangsa Indonesia memiliki organisasikenegaraan yang
merupakan wadah berbagai kegiatan kenegaraan dalam wujudsupra struktur politik
dan wadah dalam kehidupan bermasyarakat adalah berbagaikelembagaan dalam wujud
infra struktur politik.
2.
Isi (Content)
Aspirasi
bangsa yang berkembang di masyarakat dan cita-cita serta tujuan nasional.
3. Tata
laku (Conduct)
Fungsi Wawasan Nusantara
1. Wawasan nusantara sebagai konsepsi ketahanan nasional,
yaitu wawasan nusantara dijadikan konsep dalam pembangunan nasional, pertahanan
keamanan, dan kewilayahan.
2. Wawasan
nusantara sebagai wawasan pembangunan mempunyai cakupan kesatuan politik,
kesatuan ekonomi, kesatuan sosial dan ekonomi, kesatuan sosial dan politik, dan
kesatuan pertahanan dan keamanan.
3. Wawasan
nusantara sebagai wawasan pertahanan dan keamanan negara merupakan pandangan
geopolitik Indonesia dalam lingkup tanah air Indonesia sebagai satu kesatuan
yang meliputi seluruh wilayah dan segenap kekuatan negara.
4. Wawasan
nusantara sebagai wawasan kewilayahan, sehingga berfungsi dalam pembatasan
negara, agar tidak terjadi sengketa dengan negara tetangga.
Tujuan
Tujuan wawasan
nusantara terdiri dari dua, yaitu:
1. Tujuan nasional, dapat dilihat dalam Pembukaan UUD 1945,
dijelaskan bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia adalah “untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darahIndonesia
dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakanketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan
sosial“.
2. Tujuan
ke dalam adalah mewujudkan kesatuan segenap aspek kehidupan baik alamiah maupun sosial,
maka dapat disimpulkan bahwa tujuan bangsa Indonesia adalah menjunjung tinggi
kepentingan nasional, serta kepentingan kawasan untuk menyelenggarakan dan
membina kesejahteraan, kedamaian dan budi luhur serta martabat manusia di
seluruh dunia
Geopolitik Indonesia
Indonesia memiliki geopolitik yang strategis
dalam interaksi global, selain posisinya di antara dua samudera dan dua benua
yang merupakan peluang betapa besar peran yang bisa dimainkan di panggung
internasional, juga memiliki kekayaan alam (SDA) beraneka lagi melimpah ruah.
Tetapi bangsa ini tidak mampu “mengelola” secara tepat dan baik letak
ke-”strategis”-an posisi dan kekayaan SDA yang dimiliki. Mungkin hanya di era
BK, Indonesia mampu mengelola geopolitiknya.
Makanya ia menggempur Belanda di Irian Barat
dan “mempermainkan” Amerika Serikat. BK memahami jika Irian Barat lepas maka
Biak akan dijadikan pangkalan militer terbesar di Asia Pasifik, dan nisaya
bakal mengancam kedaulatan Indonesia yang baru tumbuh. Kemenangan atas Irian
Barat merupakan kemenangan atas kedaulatan modal terbesar Indonesia. Di wilayah
barat memiliki lumbung minyak Sumatera, Jawa dan Kalimantan, sementara di Irian
Barat ada gas dan emas. Indonesia bersiap menjadi negara paling kuat di
Asia.
Sumatera adalah salah satu bukti nyata. Pulau
di sebelah barat Indonesia ini tak sekadar cerita tentang pulau emas, eksotisme
alam liar nan indah atau kemashyuran Sriwijaya. Secara geopolitik Sumatera ini
sejatinya sangat strategis, namun celakanya banyak orang Indonesia sendiri yang
tidak menyadarinya. Sumetara adalah tempat pertama sekaligus terakhir di Asia
Tenggara yang ditemukan dunia perjalanan internasional (Baca Sumetara Tempo
Doeloe, dari Marcopoli sampai Tan Malaka, Anthony Reid, ed).
Sebagai semacam barikade yang dihadapkan pada
titik-titik masuk maritim ke Asia bagian timur, Sumatera adalah tempat
pendaratan pertama di bidang pelayaran. Emas dari rangkaian pegunungannnya,
lalu kapur barus dari hutan-hutannnya, menarik para pedagang dari seluruh dunia
menuju magnet Suvarna dvipa-Tanah Emas. Bukan itu saja. Beberapa jejak
peninggalan tertua dari pengaruh India, Arab, dan Cina di Asia Tenggara dapat
ditemukan di Sumatera. Luar biasa!
Deli, di Sumatera Timur, sekadar ilustrasi
yang lain lagi. Jika kita menelisik ke 1919, Tan Malaka dalam autobiografinya
Dari Penjara ke Penjara, sudah melukiskan Deli sebagai tanah emas, surga buat
kaum kapitalis. Di perbatasan Deli dengan Aceh, terdapat minyak tanah yang
berpusat di Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu, dan Perlak.
Bahkan, di perbatasan Deli dengan Aceh
terdapat besi. Seperti di Singkep, Bangka dan Belitung, di Jambi sendiri
terdapat timah. Bauksit di Riau dan Alumunium terdapat di Asahan, Deli. Bahkan
jika dihubungkan dengan arang di Sawahlunto dan airmancur Sungai Asahan, yang
punya kodrat nomor 2 atau nomor 3 di dunia, maka bumi dan air Deli sekitarnya
dapat mengadakan perindustrian berat apapun juga. Apalagi kalau nanti dapat
diperhubungkan lagi dengan logam besi, timah, dan lain lain dari tanah.
Kalau kita mempelajari dan menyerap apa yang menjadi
ketahanan budaya dan ketahanan nasional negara-negara lain, Iran bisa kita
jadikan contoh nyata yang paling actual. Betapa kesadaran dan wawasan
geopolitik dan geostrategi para elit pemerintahan di Iran, merupakan salah satu
faktor kebangkitan Iran sebagai kekuatan yang patut diperhitungkan oleh
negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia dan Cina.
Dengan segala kelebihan serta keterbatasannya
mampu memaksimalkan peran geopolitik dalam perpolitikan global.
Setidak-tidaknya ancaman penutupan Selat Hormuz oleh Ahmadinejad dalam psy war
kemarin telah membuat “kekhawatiran” para adidaya dunia, terutama bagi jajaran
negara yang sangat tergantung dari dinamika selat tersebut. Ini cuma sekilas
contoh, betapa dahsyat pemanfaatan geopolitik suatu bangsa bila dikelola secara
baik, bahkan dapat dijadikan geopolitic
weapon.
Sebagaimana diurai di atas, ilmu dan wawasan
geopolitik di republik tercinta ini terdangkalkan bahkan terabaikan, sehingga
bangsa ini tak mampu mensyukuri, menikmati dan mengelola karunia Tuhan Yang
Maha Esa sehingga rakyat sebagai pemilik kedaulatan justru termarginal dalam
kelimpahan rahmat-Nya.
Tatkala
abai terhadap geopolitik, para elit pun seperti kehabisan waktu dan energi
berdebat kesana-kemari dalam derivatif berbagai paradigma serta teori sosial
politik yang sebenarnya telah dihegemoni oleh kepentingan asing. Terjebak gegap
diskusi pada tataran permukaan malah melupakan hal-hal yang tersirat, apalagi
membahas yang di bawah permukaan. Nonsense.
Bahwa debatisasi berbagai elemen bangsa kini diduga kuat telah dirajut oleh
asing dan kaum komprador menjadi “industri demokrasi” dengan berbagai
manufaktur dan fabrikasi, seperti perbedaan pendapat, demonstrasi, ego
sektoral, konflik, parlemen jalanan dan lainnya.
Maka
inilah kemenangan wilayah simbol-simbol (kulit) namun tersungkur di ruang
hakiki (substansi). Lembaga pendidikan dan pusat kajian dipompa hanya sekedar
mengejar gelar serta status sosial dengan paradigma dan teori yang telah
dikendalikan, berputar-putar dalam isue serta terminologi “rekayasa”
(demokrasi, HAM, lingkungan dll) yang berpihak kepada kepentingan luar tetapi
nihil terhadap historisme yang mutlak harus dipikul dan menjadi tanggung jawab
sejarah, sosial dan realitas politik terutama bagi kepentingan nasional saat
ini.
Sebagai
contoh sederhana ialah maraknya berbagai konflik di tanah air sesungguhnya tak
boleh dilepas dari hipotesa sebagai “hajatan asing” dalam rangka protection oil flow atau blockade
somebody else oil flow. Pola yang lazim digunakan oleh kolonialisme ialah
menghadirkan pasukan multinasional melalui resolusi PBB dengan alasan HAM dan
kemanusiaan, lalu dikeroyok ala NATO seperti Libya atau berujung referendum
sebagaimana terjadi di Sudan, Timor Timur dan lainnya. Itulah potensi yang
bakal terjadi di republik ini, sementara para elit bangsa “sibuk” dengan
dinamika di permukaan namun melupakan what lies beneath the surface (apa yang
terkandung di bawah permukaan). Sekali lagi, lupa geopolitik ialah awal
bercokolnya “permainan asing” dan menjadi penyebab kehancuran sebuah bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar