Selasa, 13 Desember 2016

Pandangan Tiga Tokoh Sosiologi Terhadap Berebut Kontrol Atas Kesejahteraan


BEREBUT KONTROL ATAS KESEJAHTERAAN
MEREBUT RUANG PUBLIK
STRATEGI AKTOR PRO-DEMOKRASI DALAM MEMAKNAI DEMOKRASI
Mariatul Asiah
Banjarmasin adalah Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan. Sebuah kota yang secara historis heterogen dan terbuka bagi para pendatang. Hal ini tampak pada keragaman suku, agama dan budaya yang tumbuh dan berkembang sejak dulu di kota yang berjuluk seribu sungai ini. Sebagaimana laiknya kota-kota besar yang menjadi ibukota provinsi, maka Banjarmasin pun terus bersolek, membenahi tata kota agar semakin bungas, sebagaimana slogan yang selama ini didengungkan oleh Pemerintah Kota Banjarmasin.
Dalam analisis yang saya dapat dari bab 13 tentang berebut kontrol atas kesejahteraan berdasarkan 3 paradigma tokoh sosiologi, bahwasannya di kota Banjarmasin masih adanya sistem kekuasaan yang dikuasai oleh sekelompok kepentingan elit yang menjadi priorotas utama dalam kekuasaan ekonomi dan politik dibandingkan mementingkan kesejahteraan masyarakat banyak. Dalam hal ini jika kita melihat pada pemikiran Karl Marx mengacu pada materialisme dan sistem ekonomi kapitalis yang dimana yang berkuasa dan memiliki modal atau uang yang berkuasa dan menentukan segala peraturan dan menguasai segala sumber daya alam yang melimpah untuk kesejahteraannya sendiri tanpa melihat kesejahteraan orang banyak.

Karl Mark dengan konsepnya kesadaran palsu atau konflik yang ada pada masyarakat Banjarmasin, disini masyarakat Banjarmasin mengetahui tindakan pemerintah itu salah dan perlu adanya pemberontakan atau penggulingan penguasa akan tetapi mereka tidak bersikap aktif dalam membicarakan sebuah isu atau masalah yang terjadi di daerahnya sendiri, akan tetapi jika mereka mengalami keasadaran kelas tetap saja penguasa atau kaum borjuasi tetap pada ideologinya dan tidak mempermasalahkan masyarkat miskin, karena  yang ada dipikiran borjuasi atau penguasa  hanyalah bagaimana materi yang dimiliki bisa lebih bertambah tanpa ada habisnya dan disinilah dimana antar kelas senantiasa mengalamai ketegangan sepanjang sejarah.
Dalam melihat permasalahan ini dari sudut pandang Emile Durkheim kesadaran kolektif bahwasannya masyarakat banjarmasin kurang berpartisipsi dalam urusan yang diselenggarakan dan dilakukan oleh penguasa dan pemilik modal, ini terbukti dari adanya lembaga yang dibuat oleh pemerintah orang yang berkuasa yaitu lembaga ombudsmen, ini terlihat dari kesadaran individu dan kelompok yang tidak berfikir dan mengkritisi lembaga tersebut, akan tetapi malah tunduk dan menerima tanpa bertanya fungsi dan manfaatnya karena yang ada dalam pikiran masyarakat Banjarmasin yang penting lembaga ini tidak menjadi lawan atau musuh serta melakukan tinadakan kekerasan terhadap masyarakat Banjamasin.
Emile Durkheim mengacu pada fakta sosial yang dimana adanya sebuah kejadian yang memang terjadi didalam sebuah daerah atau kekuasaan yang mengarah pada penguasaan sistem ekonomi sang penguasa yang memiliki modal dan tingkat kekuasaan yang dianggap penting bagi dirinya sehingga masyarakat banyak tidak bisa berbuat apa-apa sehingga timbulnya masyarakat borjuasi dan ploletar di kota Banjarmasin. Para pemilik kekuasaan dan modal bekerja sama dalam sektor jasa seperti hotel yang dilengkapi dengan hiburan malam, pusat pembelanjaan dan pembelajaran modern, ruko, restoran dan yang lainnya, akan tetepi yang bisa merasakan semua itu yag memiliki uang bukan yang miskin. Durkheim menyikapi ini dengan solidaritas mekanik masyarakat Banjarmasin dalam menghadapi semua aturan yang dibuat sang penguasa meskipun tidak mengarah pada kesejahteraan publik, akan tetapi masyarakat Banjarmasin lebih baik diam dan mempertahankan kebudayaannya agar tidak hancur meskipun dari segi kekayaan alam Banjarmasin habis untuk pendirian gedung dan bangunan lainnya yang banyak menguntungkan masyarakat borjuasi.
Jika dilihat menurut pemikiran Max Weber yaitu konsepnya tindakan sosial yang jelas-jelas melibatkan campur tangan atas proses pemikiran dan tindakan yang bermakna yang dihasilkan diantara kejadian suatu stimulus dan respon terakhir. Tidak adanya tindakan sosial masyarakat Banjarmasin pada setiap aturan dan pembentukan suatu lembaga yang membawa pada suatu perubahan. Di sisni Weber memiliki harapan bahwa masyarakat tertindas atau kalangan rendah bisa bangkit berkembang dengan cara berangsur-angsur dan adanya usaha serta proses yang pasti dan tetap mempertahankan kebudayaannya tanpa berfikir agama itu sebagai penghambat.
Max Weber melihat politik dan ekonomi yang berkembang di kota Banjarmasin bukan sebagai bentuk yang tidak baik dan mengancam, akan tetapi Weber lebih menyukai demokrasi sebagai suatu bentuk politis bukan karena dia percaya pada massa, tetapi karena demokrasi memberikan dinamisme maksimum dan lingkungan pergaulan terbaik untuk menghasilkan para politis. Weber juga melihat pada struktur otoritas legal rasional yang bersandar pada kepercayaan terhadap legalitas aturan-aturan yang ditetapkan dan hak orang-orang yang diberi otoritas berdasarkan aturan-aturan itu untuk mengeluarkan perintah-perintah. Kalimat ini menyangkut pada lembaga yang dibuat oleh pemerintah di Banjarmasin yaitu lembaga Ombudsmen yang diberi kewenangan sebagai lembaga yang menaungi masukan dan keluhan publik dan mempunyai kewenangan untuk membela masyarakat publik dalam tingkat atas yang berkuasa dan mengatur kota Banjarmasin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar