BEREBUT KONTROL ATAS KESEJAHTERAAN
MEREBUT RUANG PUBLIK
STRATEGI AKTOR PRO-DEMOKRASI DALAM MEMAKNAI
DEMOKRASI
Mariatul Asiah
Banjarmasin adalah Ibukota Provinsi Kalimantan
Selatan. Sebuah kota yang secara historis heterogen dan terbuka bagi para
pendatang. Hal ini tampak pada keragaman suku, agama dan budaya yang tumbuh dan
berkembang sejak dulu di kota yang berjuluk seribu sungai ini. Sebagaimana
laiknya kota-kota besar yang menjadi ibukota provinsi, maka Banjarmasin pun
terus bersolek, membenahi tata kota agar semakin bungas, sebagaimana
slogan yang selama ini didengungkan oleh Pemerintah Kota Banjarmasin.
Dalam analisis yang saya dapat dari bab 13 tentang
berebut kontrol atas kesejahteraan berdasarkan 3 paradigma tokoh sosiologi,
bahwasannya di kota Banjarmasin masih adanya sistem kekuasaan yang dikuasai
oleh sekelompok kepentingan elit yang menjadi priorotas utama dalam kekuasaan
ekonomi dan politik dibandingkan mementingkan kesejahteraan masyarakat banyak.
Dalam hal ini jika kita melihat pada pemikiran Karl Marx mengacu pada
materialisme dan sistem ekonomi kapitalis yang dimana yang berkuasa dan
memiliki modal atau uang yang berkuasa dan menentukan segala peraturan dan
menguasai segala sumber daya alam yang melimpah untuk kesejahteraannya sendiri
tanpa melihat kesejahteraan orang banyak.
Karl Mark dengan konsepnya kesadaran palsu atau
konflik yang ada pada masyarakat Banjarmasin, disini masyarakat Banjarmasin
mengetahui tindakan pemerintah itu salah dan perlu adanya pemberontakan atau
penggulingan penguasa akan tetapi mereka tidak bersikap aktif dalam
membicarakan sebuah isu atau masalah yang terjadi di daerahnya sendiri, akan
tetapi jika mereka mengalami keasadaran kelas tetap saja penguasa atau kaum
borjuasi tetap pada ideologinya dan tidak mempermasalahkan masyarkat miskin,
karena yang ada dipikiran borjuasi atau
penguasa hanyalah bagaimana materi yang
dimiliki bisa lebih bertambah tanpa ada habisnya dan disinilah dimana antar
kelas senantiasa mengalamai ketegangan sepanjang sejarah.
Dalam melihat permasalahan ini dari sudut pandang
Emile Durkheim kesadaran kolektif bahwasannya masyarakat banjarmasin kurang
berpartisipsi dalam urusan yang diselenggarakan dan dilakukan oleh penguasa dan
pemilik modal, ini terbukti dari adanya lembaga yang dibuat oleh pemerintah
orang yang berkuasa yaitu lembaga ombudsmen, ini terlihat dari kesadaran
individu dan kelompok yang tidak berfikir dan mengkritisi lembaga tersebut,
akan tetapi malah tunduk dan menerima tanpa bertanya fungsi dan manfaatnya
karena yang ada dalam pikiran masyarakat Banjarmasin yang penting lembaga ini
tidak menjadi lawan atau musuh serta melakukan tinadakan kekerasan terhadap masyarakat
Banjamasin.
Emile Durkheim mengacu pada fakta sosial yang dimana
adanya sebuah kejadian yang memang terjadi didalam sebuah daerah atau kekuasaan
yang mengarah pada penguasaan sistem ekonomi sang penguasa yang memiliki modal
dan tingkat kekuasaan yang dianggap penting bagi dirinya sehingga masyarakat
banyak tidak bisa berbuat apa-apa sehingga timbulnya masyarakat borjuasi dan
ploletar di kota Banjarmasin. Para pemilik kekuasaan dan modal bekerja sama
dalam sektor jasa seperti hotel yang dilengkapi dengan hiburan malam, pusat
pembelanjaan dan pembelajaran modern, ruko, restoran dan yang lainnya, akan
tetepi yang bisa merasakan semua itu yag memiliki uang bukan yang miskin.
Durkheim menyikapi ini dengan solidaritas mekanik masyarakat Banjarmasin dalam
menghadapi semua aturan yang dibuat sang penguasa meskipun tidak mengarah pada
kesejahteraan publik, akan tetapi masyarakat Banjarmasin lebih baik diam dan
mempertahankan kebudayaannya agar tidak hancur meskipun dari segi kekayaan alam
Banjarmasin habis untuk pendirian gedung dan bangunan lainnya yang banyak
menguntungkan masyarakat borjuasi.
Jika dilihat menurut pemikiran Max Weber yaitu
konsepnya tindakan sosial yang jelas-jelas melibatkan campur tangan atas proses
pemikiran dan tindakan yang bermakna yang dihasilkan diantara kejadian suatu
stimulus dan respon terakhir. Tidak adanya tindakan sosial masyarakat
Banjarmasin pada setiap aturan dan pembentukan suatu lembaga yang membawa pada
suatu perubahan. Di sisni Weber memiliki harapan bahwa masyarakat tertindas
atau kalangan rendah bisa bangkit berkembang dengan cara berangsur-angsur dan
adanya usaha serta proses yang pasti dan tetap mempertahankan kebudayaannya
tanpa berfikir agama itu sebagai penghambat.
Max Weber melihat politik dan ekonomi yang berkembang
di kota Banjarmasin bukan sebagai bentuk yang tidak baik dan mengancam, akan
tetapi Weber lebih menyukai demokrasi sebagai suatu bentuk politis bukan karena
dia percaya pada massa, tetapi karena demokrasi memberikan dinamisme maksimum
dan lingkungan pergaulan terbaik untuk menghasilkan para politis. Weber juga
melihat pada struktur otoritas legal rasional yang bersandar pada kepercayaan
terhadap legalitas aturan-aturan yang ditetapkan dan hak orang-orang yang
diberi otoritas berdasarkan aturan-aturan itu untuk mengeluarkan
perintah-perintah. Kalimat ini menyangkut pada lembaga yang dibuat oleh
pemerintah di Banjarmasin yaitu lembaga Ombudsmen yang diberi kewenangan
sebagai lembaga yang menaungi masukan dan keluhan publik dan mempunyai
kewenangan untuk membela masyarakat publik dalam tingkat atas yang berkuasa dan
mengatur kota Banjarmasin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar